Di kampung Timbuktu, Republik Mali, Afrika Barat hiduplah keluarga penggembala Sapi, Kidane (Ibrahim Ahmed) dengan istri dan anaknya. Mereka tinggal di gurun pasir yang gersang dan tandus tapi penuh kedamaian. Istrinya Satima (Toulou Kiki), putri pertamanya Toya (Layla Walet Mohamed), dan anak laki-laki bungsunya Isan (Mehdi Ag Mohamed) merupakan penduduk biasa kampung Timbuktu yang menggantungkan hidupnya dari ternak mereka. Tidak jauh dari gurun tempat mereka tinggal, penduduk Timbuktu hidup menderita dan tak berdaya akibat dari dari rezim “teror” yang dikendalikan oleh para “Jihadist” yang ingin mengendalikan hidup mereka dalam hukum syariat Islam. Di Timbuktu, nyawa tidak berharga, hak asasi tidak berlaku. Semua kehidupan diatur oleh mereka yang katanya sedang melaksanakan perintah Tuhan. Kidane dan keluarganya sebenarnya jauh dari hura-hara di Timbuktu. Tapi kemudian, sebuah peristiwa mengubah nasib keluarga mereka secara tiba-tiba.
“Smoking is forbidden! Music is forbidden!”
Begitulah film ini di buka oleh adegan seorang “jihadist” yang berteriak-teriak memakai TOA berkeliling kampung Timbuktu mengumumkan penerapan syariat Islam di daerah tersebut. Bendera hitam berhuruf putih berkibar-kibar mengikuti angin. Suasana hening dan mencekam mewarnai kampung yang terletak di gurun Afrika ini.
Tidak hanya melarang rokok dan musik, dalam perjalanannya, mereka: pemerintahan baru -para jihadist dan polisi syariah- juga melarang penduduknya untuk bermain bola karena dianggap sebuah kesia-siaan, mewajibkan memakai celana “ngatung” di atas mata kaki bagi pria dan harus memakai burqa serta sarung tangan bagi wanita.
Mencoba melanggar? Siap-siap aja 20 cambukan untuk bermain bola, 40 cambukan bermain musik plus 40 cambukan lagi saat sidang hukuman tanpa di dampingi orang tua, 40 cambukan jika berduaan yg bukan muhrim dan dilempar batu beramai-ramai bahkan pemberlakuan hukuman mati dan lain sebagainya. Semuanya dilakukan secara terbuka. Korban dipermalukan dihadapan semua orang, dihukum secara fisik (baik itu cambukan atau lemparan batu) bahkan ada yg dibunuh jika melawan. Nyawa seolah tidak ada harganya di kampung Timbuktu.
Dulunya, Timbuktu adalah sebuah kampung yang damai. Kampung dimana anak-anak bebas bermain sepak bola dan orang tua heboh mendiskusikan siapa yang lebih jago: Messi atau Zidane, Perancis atau Brazil. Para wanita bernyanyi dan menari riang serta berteater, berkesenian di tengah kemiskinan dan kekeringan. Mereka beragama, dan menjalankan ajaran agama tanpa paksaan, ancaman apalagi kekerasan. Ulama setempat mengayomi semua penduduk, baik yang beragama atau tidak, baik yang taat atau tidak, baik yang alim atau tidak. Semua hidup berdampingan satu sama lain. Bahkan dalam salah satu adegan film, digambarkan seorang ulama lokal mengusir para polisi syariah keluar dari masjid karena masuk tanpa melepas sepatu dan membawa senjata lengkap. Ulama ini juga dengan lantang menasehati mereka tentang makna “Jihad” yang sebenarnya yaitu mengendepankan humanity, respect each others, fairness dan membawa kedamaian karena Islam adalah agama damai untuk seluruh alam.
Kampung Timbuktu berubah “rusuh” saat jihadist berbendera hitam berhuruf putih menginvasi kampung mereka. Atas nama agama dan tuhan, kampung tersebut kemudian diperintah oleh mereka yang (katanya) ingin menegakkan khilafah berlandaskan syariat Islam. Jadilah para penduduk kampung hidup dalam tekanan, kecemasan dan ketakutan. Mereka di paksa untuk menjalankan syariat sesuai keyakinan dan cara “jihadist” dengan kekerasan, paksaan dan hukuman. Banyak dari penduduk asli Timbuktu akhirnya eksodus meninggalkan kampung tanah lahir mereka.
Jangan dikira para “jihadist” ini manusia suci bak malaikat. Mereka adalah para hipokrit, pathological liar dan kaum munafik kelas wahid. Mereka melarang rokok padahal mereka merokok secara sembunyi-sembunyi, mereka juga menggoda dan tergoda dengan wanita cantik serta mereka sering berbohong, mencomot ayat suci atas nama syariat tanpa tahu makna dan asbabun nuzul-nya. Intinya syariah hanya sebuah kedok untuk sebuah kuasa dan hawa nafsu.
This is remarkably; great cinematography (goshhh it’s beautiful Mali with dessert) super sensitive story about islamic law combines moral indignation.
Timbuktu is the first ever Oscar entry from Mauritania, and luckily it made as the one Foreign Language shortlists. Selain itu Timbuktu telah memenangkan 24 penghargaan dan 17 nominasi dari festival-festival film dunia.
HIGHLY RECOMMENDED!